Selasa, 06 November 2012

Mengenal Panglima DI TII KARTOSOEWIRJO



Di zamannya, Tjokroaminoto merupakan panutan anak muda saat itu. Mulai dari Soekarno, Semaun, hingga Kartosoewirjo berguru kepadanya. Pemimpin Syarikat Islam, organisasi terbesar saat itu pun banyak menelurkan tokoh-tokoh besar di Indonesia.
Fadli Zon dalam buku 'Hari Terakhir KARTOSOEWIRJO' seperti dikutip detikcom, Jumat (7/9/2012) menulis Tjokroaminoto saat itu disebut Belanda sebagai 'Raja Jawa Tanpa Mahkota'.
Kartosoewirjo yang kemudian menjadi imam DI/TII, memulai kariernya dengan menjadi sekretaris pribadi Tjokroaminoto sekitar tahun 1927. Kartosoewirjo sering menemani perjalanan politik Tjokroaminoto keliling Jawa. "Tjokroaminoto adalah guru politik dan mentor Islamisme Kartosoewirjo," tulis Fadli Zon.
Pada 1929, Kartosoewirjo berhenti karena sakit. Dia pun pindah dan tinggal bersama mertuanya di Malangbong, Garut. Kartosoewirjo sudah menikah dengan Dewi Siti Kalsum, yang juga putra tokoh PSII Ardiwisastra.
Kemudian, Kartosoewirjo pun belajar agama kepada Notodiharjo, tokoh Islam modern. Dia juga belajar pada sejumlah ulama di Bandung dan Tasikmalaya.
"Ia juga belajar agama Islam dari buku-buku asing, dan mendalami Alquran dan hadist dari kitab berbahasa Belanda," tulis Fadli.
Selama aktif di pergerakan Islam, seperti koleganya Soekarno, Kartosoewirjo pun kerap mengenyam dinginnya sel penjara. Kartosoewirjo juga pernah menjadi sekretaris umum PSII, kemudian pimpinan koran harian Fadjar Asia. Saat Jepang masuk Indonesia, Kartosoewirjo juga aktif dalam MIAI (Madjlis Islam 'Alaa Indonesia). Di organisasi itu, Kartosoewirjo memberikan pendidikan pelatihan kemiliteran.


"Lulusan pelatihan itu banyak yang akhirnya memasuki organisasi gerilya Islam, seperti Hizbullah dan Sabilillah yang kemudian menjadi Tentara Islam Indonesia," tulis Fadli.

Hingga kemudian setelah Perjanjian Renville, Kartosoewirjo bersama pasukan Tentara Islam Indonesia yang di bawah komandonya memutuskan memisahkan diri. Pada 1949 dia pun memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia.
Saat itu Jawa Barat memang tengah ditinggalkan TNI sesuai isi perjanjian Renville, merujuk kepada perjanjian Linggarjati, wilayah Indonesia hanya Jawa, Sumatera, dan Madura.

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, sang imam DI/TII bukan besar di lingkungan pesantren. Dia semasa kecil menempuh pendidikan kolonial Belanda. Hak istimewa ini diperolehnya karena posisi ayahnya yang merupakan mantri pada kantor yang bertugas melakukan koordinasi penjualan candu.
Seperti dikutip dari buku Fadli Zon, 'Hari Terakhir Kartosoewirjo', Jumat (7/9/2012) dituliskan Kartosoewirjo lahir pada Selasa kliwon, 7 Februari 1905, di Kota Cepu, perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur.
"Karena posisi penting ayahnya ini, Kartosoewirjo termasuk salah satu anak negeri yang berkesempatan mengenyam pendidikan modern kolonial Belanda," tulis Fadli Zon.
Saat itu, sekitar tahun 1910, Indonesia atau Hindia Belanda tengah hangat dengan munculnya organisasi pergerakan, yang sebagian besar masih bersifat kedaerahan.
Saat itu, tulis Fadli dalam bukunya, sebagai anak mantri atau setingkat sekretaris distrik, Kartosoewirjo bisa mengenyam pendidikan sekolah Inlandsche School der Tweede Klasse atau sekolah bumiputera kelas dua. Tamat dari sekolah itu, Kartosoewirjo melanjutkan ke HIS (Hollandsch Inlandsche School), setelah itu Kartosoewirjo melanjutkan ke ELS (Europeesche Lagere School).
"Untuk orang Indonesia, sekolah HIS dan ELS merupakan sekolah elite, hanya anak Eropa dan Indo yang bisa masuk, serta sekelompok anak bumiputera yang berstatus sosial tinggi, cerdas, dan berbakat," tulis Fadli.
Pada usia 18 tahun, pada 1923, Kartosoewirjo menjadi mahasiswa sekolah dokter Hindia Belanda di Surabaya. Nah, di masa itulah cikal bakal bakat sebagai organisatorisnya mulai muncul.
Di Kota Surabaya, Kartosoewirjo menjadi anggota Jong Java cabang Surabaya, dan bahkan kemudian menjadi ketua cabang. Hingga pada 1925 dia bergabung dengan Jong Islamieten Bond di bawah pimpinan Wiwoho,
"Selama di Surabaya, Kartosoewirjo bersama para pemuda lain berkenalan dengan banyak ideologi atau haluan politik dan bentuk perjuangan semuanya mengambil konsep-konsep modern dari Barat," tulis Fadli lagi.
Pada 1927, Kartosoewirjo dikeluarkan dari sekolah kedokteran tersebut. Seperti ditulis Fadli Zon, Kartosoewirjo diangga terlibat gerakan politik. Salah satunya, pihak sekolah menemukan bukti bahwa Kartosoewirjo memiliki buku komunisme dan sosialisme. Buku itu didapat dari pamannya Mas Marco Kartodikromo.
Hingga akhirnya, perjalanan politik sesungguhnya Kartosoewirjo dimulai ketika dia berkenalan dengan Tjokroaminoto, yang dikenal sebagai pimpinan Syarikat Islam yang sangat berpengaruh di Jawa.

0 comments:

Posting Komentar

Silahkan Komentar dengan bahasa yang santun dan dapat dipertanggung jawabkan...Haturnuhun.
D.A.H.R

Copyright © 2014 Berbagi Berarti Peduli