Mengenal Panglima DI TII KARTOSOEWIRJO
Di zamannya, Tjokroaminoto
merupakan panutan anak muda saat itu. Mulai dari Soekarno, Semaun, hingga
Kartosoewirjo berguru kepadanya. Pemimpin Syarikat Islam, organisasi terbesar
saat itu pun banyak menelurkan tokoh-tokoh besar di Indonesia.
Fadli Zon dalam buku 'Hari Terakhir KARTOSOEWIRJO' seperti dikutip detikcom, Jumat (7/9/2012) menulis Tjokroaminoto saat itu disebut Belanda sebagai 'Raja Jawa Tanpa Mahkota'.
Kartosoewirjo yang kemudian menjadi imam DI/TII, memulai kariernya dengan menjadi sekretaris pribadi Tjokroaminoto sekitar tahun 1927. Kartosoewirjo sering menemani perjalanan politik Tjokroaminoto keliling Jawa. "Tjokroaminoto adalah guru politik dan mentor Islamisme Kartosoewirjo," tulis Fadli Zon.
Pada 1929, Kartosoewirjo berhenti karena sakit. Dia pun pindah dan tinggal bersama mertuanya di Malangbong, Garut. Kartosoewirjo sudah menikah dengan Dewi Siti Kalsum, yang juga putra tokoh PSII Ardiwisastra.
Kemudian, Kartosoewirjo pun belajar agama kepada Notodiharjo, tokoh Islam modern. Dia juga belajar pada sejumlah ulama di Bandung dan Tasikmalaya.
Fadli Zon dalam buku 'Hari Terakhir KARTOSOEWIRJO' seperti dikutip detikcom, Jumat (7/9/2012) menulis Tjokroaminoto saat itu disebut Belanda sebagai 'Raja Jawa Tanpa Mahkota'.
Kartosoewirjo yang kemudian menjadi imam DI/TII, memulai kariernya dengan menjadi sekretaris pribadi Tjokroaminoto sekitar tahun 1927. Kartosoewirjo sering menemani perjalanan politik Tjokroaminoto keliling Jawa. "Tjokroaminoto adalah guru politik dan mentor Islamisme Kartosoewirjo," tulis Fadli Zon.
Pada 1929, Kartosoewirjo berhenti karena sakit. Dia pun pindah dan tinggal bersama mertuanya di Malangbong, Garut. Kartosoewirjo sudah menikah dengan Dewi Siti Kalsum, yang juga putra tokoh PSII Ardiwisastra.
Kemudian, Kartosoewirjo pun belajar agama kepada Notodiharjo, tokoh Islam modern. Dia juga belajar pada sejumlah ulama di Bandung dan Tasikmalaya.
"Ia juga belajar agama Islam
dari buku-buku asing, dan mendalami Alquran dan hadist dari kitab berbahasa
Belanda," tulis Fadli.
Selama aktif di pergerakan Islam,
seperti koleganya Soekarno, Kartosoewirjo pun kerap mengenyam dinginnya sel
penjara. Kartosoewirjo juga pernah menjadi sekretaris umum PSII, kemudian
pimpinan koran harian Fadjar Asia. Saat Jepang masuk Indonesia, Kartosoewirjo
juga aktif dalam MIAI (Madjlis Islam 'Alaa Indonesia). Di organisasi itu,
Kartosoewirjo memberikan pendidikan pelatihan kemiliteran.
"Lulusan pelatihan itu
banyak yang akhirnya memasuki organisasi gerilya Islam, seperti Hizbullah dan
Sabilillah yang kemudian menjadi Tentara Islam Indonesia," tulis Fadli.
Hingga kemudian setelah
Perjanjian Renville, Kartosoewirjo bersama pasukan Tentara Islam Indonesia yang
di bawah komandonya memutuskan memisahkan diri. Pada 1949 dia pun
memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia.
Saat itu Jawa Barat memang tengah
ditinggalkan TNI sesuai isi perjanjian Renville, merujuk kepada perjanjian
Linggarjati, wilayah Indonesia hanya Jawa, Sumatera, dan Madura.
Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo, sang imam DI/TII bukan besar di lingkungan pesantren. Dia semasa
kecil menempuh pendidikan kolonial Belanda. Hak istimewa ini diperolehnya
karena posisi ayahnya yang merupakan mantri pada kantor yang bertugas melakukan
koordinasi penjualan candu.
Seperti dikutip dari buku Fadli
Zon, 'Hari Terakhir Kartosoewirjo', Jumat (7/9/2012) dituliskan Kartosoewirjo
lahir pada Selasa kliwon, 7 Februari 1905, di Kota Cepu, perbatasan antara Jawa
Tengah dan Jawa Timur.
"Karena posisi penting
ayahnya ini, Kartosoewirjo termasuk salah satu anak negeri yang berkesempatan
mengenyam pendidikan modern kolonial Belanda," tulis Fadli Zon.
Saat itu, sekitar tahun 1910,
Indonesia atau Hindia Belanda tengah hangat dengan munculnya organisasi
pergerakan, yang sebagian besar masih bersifat kedaerahan.
Saat itu, tulis Fadli dalam
bukunya, sebagai anak mantri atau setingkat sekretaris distrik, Kartosoewirjo
bisa mengenyam pendidikan sekolah Inlandsche School der Tweede Klasse atau
sekolah bumiputera kelas dua. Tamat dari sekolah itu, Kartosoewirjo melanjutkan
ke HIS (Hollandsch Inlandsche School), setelah itu Kartosoewirjo melanjutkan ke
ELS (Europeesche Lagere School).
"Untuk orang Indonesia,
sekolah HIS dan ELS merupakan sekolah elite, hanya anak Eropa dan Indo yang
bisa masuk, serta sekelompok anak bumiputera yang berstatus sosial tinggi,
cerdas, dan berbakat," tulis Fadli.
Pada usia 18 tahun, pada 1923,
Kartosoewirjo menjadi mahasiswa sekolah dokter Hindia Belanda di Surabaya. Nah,
di masa itulah cikal bakal bakat sebagai organisatorisnya mulai muncul.
Di Kota Surabaya, Kartosoewirjo
menjadi anggota Jong Java cabang Surabaya, dan bahkan kemudian menjadi ketua
cabang. Hingga pada 1925 dia bergabung dengan Jong Islamieten Bond di bawah
pimpinan Wiwoho,
"Selama di Surabaya,
Kartosoewirjo bersama para pemuda lain berkenalan dengan banyak ideologi atau
haluan politik dan bentuk perjuangan semuanya mengambil konsep-konsep modern
dari Barat," tulis Fadli lagi.
Pada 1927, Kartosoewirjo
dikeluarkan dari sekolah kedokteran tersebut. Seperti ditulis Fadli Zon,
Kartosoewirjo diangga terlibat gerakan politik. Salah satunya, pihak sekolah
menemukan bukti bahwa Kartosoewirjo memiliki buku komunisme dan sosialisme.
Buku itu didapat dari pamannya Mas Marco Kartodikromo.
Hingga akhirnya, perjalanan
politik sesungguhnya Kartosoewirjo dimulai ketika dia berkenalan dengan
Tjokroaminoto, yang dikenal sebagai pimpinan Syarikat Islam yang sangat
berpengaruh di Jawa.
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan Komentar dengan bahasa yang santun dan dapat dipertanggung jawabkan...Haturnuhun.
D.A.H.R